Menyusuri Wisma Kuwera
Wisma Kuwera adalah rumah dari seorang filsuf, arsitek, sastrawan, politikus, dan rohaniawan; Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang lebih dikenal dengan nama Romo Mangun. Terletak di Gang Kuwera, Wisma Kuwera merupakan rumah tumbuh yang dibangun pada tahun 1986-1999. Sekarang, Wisma Kuwera difungsikan sebagai Kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar.
Kedatangan kami disambut oleh Romo Edy Wiyanto, pr. Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan maksud kedatangan, kami diajak berkeliling. Menyusuri Wisma Kuwera merupakan pengalaman ruang tersendiri bagi kami, dari berbagai elevasi lantai dengan tangga yang beragam hingga berbagai variasi material.
Mengawali penyusuran kami, Romo Edy menceritakan mengenai bambu tutul geprek yang dibuat asli dari puluhan tahun lalu. Sebelum digeprek, bambu tutul direndam selama tiga bulan. Elemen bambu geprek menjadi salah satu material finishing yang sering dijumpai pada Wisma Kuwera, menempel pada dinding, lantai, hingga langit-langit.
Romo Edy lebih lanjut menceritakan bagaimana pemahaman beliau melihat sisi arsitektur dari Wisma Kuwera. Beliau memeragakannya dengan membuka ‘lemari’ yang menyatu dengan dinding. Selain itu, beliau menunjukkan hal-hal lain seperti rak yang juga menjadi pembatas. Hal ini menunjukkan adanya dualitas fungsi dari elemen bangunan karya Romo Mangun.
Kami pun lanjut menyusuri ruang. Ruang-ruang yang tercipta pada Wisma Kuwera tak lepas untuk mewadahi manusia sebagai pengguna. Selain mewadahi ruang pada rumah umumnya, adapula ruang yang mewadahi fungsi-fungsi khusus, seperti ruang untuk telepon umum pada masa itu, ruang gambar yang kini sudah tidak terpakai, dan ruang doa.
Ragam tektonika dan material
Mengutip dari perkataan Pak Eko Prawoto, tektonika merupakan aspek arsitektur yang berkaitan dengan bagaimana mengolah dan mempertemukan bahan bangunan serta mengartikulasikan penyelesaian sambungan dalam kaitan dengan gaya konstruksi. Romo Edy mengatakan bahwa Pak Eko Prawoto pernah bercerita ada sekitar seratus jenis konstruksi yang ada di Wisma Kuwera.
Ada banyak pula ragam eksplorasi material dan finishing yang ada pada Wisma Kuwera. Diantaranya ialah jendela nako kayu, dinding berpola dari cetakan bambu, dan berbagai macam pola lantai.
Bangunan baru
Selain bangunan rumah yang selesai di tahun 1999 –konstruksinya terbukti tahan terhadap gempa jogja 2006– adapula bagian rumah yang dibangun di tahun 2008. Pak Edy bercerita, bahwa kesan ruang di bagian rumah baru cenderung lebih panas daripada rumah yang dibuat asli oleh Romo Mangun.
Pada bangunan baru, material plafon tidak menggunakan bambu tutul geprek, lantaran lamanya proses pembuatan dan faktor keahlian tukang. Oleh karena itu, dipilihlah anyaman bambu sebagai plafon dari bagian rumah ini. Hal menarik lain dari bagian rumah baru adalah pemanfaatan meja kayu bekas sebagai kisi-kisi.
Dikala istirahat dari berkeliling, kami mencoba berdiskusi mengapa ada perbedaan rasa ‘lebih panas’ dan lebih dingin antara bangunan baru dan bangunan lama. Ada satu pendapat yang menarik dari Luna. Bisajadi, hawa bangunan lama lebih dingin karena adanya ‘ruang kosong’ antara plafon dan atap. Angin dapat melewati ‘ruang kosong’ sehingga hawa ruang di bawahnya menjadi lebih dingin.
Cerita tentang Romo Mangun
Di akhir berkeliling Wisma Kuwera, kami diajak berbincang oleh Pak Embri. Topik pembicaraan kami berawal dari sebuah pertanyaan sederhana, yakni pendapat kami tentang cara pembuatan pola pada dinding ini:
Karena jawaban kami masih ragu, beliau bercerita mengenai pentingnya memahami mengenal latar belakang seniman dari sebuah karya. Pak Embri merekomendasikan kepada kami untuk membaca buku berjudul “Saya Ingin Membalas Utang Kepada Rakyat” untuk mengenal lebih jauh sosok Romo Mangun dan latar belakang beliau menjadi arsitek yang berpihak pada kemanusiaan.
Ciri arsitektur Romo Mangun menurut Pak Embri adalah 3R: Rendah, muRah, dan Ringan. Rendah, ruang-ruang yang tercipta mempunyai skala yang humanis. Murah, karena dalam pembangunan Romo Mangun kerap menggunakan material bekas dan material yang ada di sekitar. Ringan, konstruksi bagian atas terbuat dari material ringan: kayu dan konstruksi bagian bawah terbuat dari material berat: beton dan bata sebagai penopang.
Kembali ke pertanyaan tadi, kami menjawab bahwa cara pembuatannya menggunakan cetakan berpola pada dinding saat proses pembuatan, yang ternyata kami salah. Dari cerita Pak Embri, proses pembuatan pola ini ialah dengan cara diukir. Meski kesannya gawe-gawe, begitulah cara Romo Mangun agar tukang-tukangnya mendapat pekerjaan lebih lama, sehingga mendapatkan penghasilan lebih.
Terkait tukang, Romo Mangun memiliki tukang-tukang dengan spesialisasi. Pak Embri bercerita mengenai salah satu kisah Romo Mangun yang cukup terkenal, yakni cerita tentang “Paku Sekilo”. Dahulu, harga paku baru berkisar 3500 per kilo. Akan tetapi, Romo Mangun lebih memilih untuk mempekerjakan tukang untuk mencabut paku bekas dan pakunya dibeli dengan harga 7500 per kilo. Hal ini adalah kisah lain dari ‘cara ajaib’ seorang Romo Mangun dalam menghargai pekerjaan tukang. Bahkan, dalam bukunya, Wastu Citra, dalam pengantar buku tertulis;
“Buku ini ditulis untuk menghormati para tukang dan karyawan-karyawati lapangan, yang dalam cara-cara mereka tertentu telah menjadi mahaguru arsitektur yang ulung bagiku”
Hari semakin sore. Kami berempat: Dita, Hani, Luna, dan Sari pamit; membawa pulang cerita, paham, dan rasa yang baru.